Selasa, 15 Maret 2011

epilog of unicorn



The Unicorn


Prolog
Ini materi sharingku pada acara rutin spiritual journey. Materi ini kusadur bebas dari tulisan sahabatku, guruku, Fr. Juni Jesena, SJ, Ateneo de Manila University dari bukunya berjudul Yayee, the wind beneath my wings. Refleksi selanjutnya tentu dari pemikiranku sendiri.

The Unicorn
Ketika jagat raya ini masih muda, Tuhan menciptakan kuda dan rusa, singa dan kerbau, kelinci dan kambing. Binatang-binatang ini mempunyai sepasang tanduk atau tidak sama sekali.
Pada suatu pagi yang cerah, penduduk desa menyaksikan, seekor binatang yang amat rupawan, bermain dengan asyiknya di hamparan rerumputan. Bentuknya seperti kuda, tapi tanduknya hanya satu. Unicorn – begitu ia diberi nama. Ia begitu jinak, tubuhnya gagah dan kuat, sinar matanya begitu lembut dan tak berdosa. Ia tak pernah melukai atau mengancam makhluk lain.
Tetapi lambat laun, para pendeta dan pemimpin komunitas itu mulai berpikir lain, atas nama logika dan demi interpretasi atas “kehendak Allah” Bahwa, binatang haruslah bertanduk dua  atau tidak sama sekali. Sebab unicorn hanya punya satu tanduk, maka ia tak mungkin berasal dari Allah – dan sesuatu yang tidak berasal dari Allah, pasti datang dari kuasa kegelapan atau setan – dan semua yang berasal dari setan harus dimusnahkan. Allah harus dilindungi dari kuasa setan. Masyarakat yang aman damai harus dilindungi dari sesuatu yang berbeda,  revolusioner dan membahayakan.
Terjadilah demikian. Suatu para pendeta dan pempimpin komunitas memprovokasi penduduk untuk membunuh unicorn. Mereka membawa binatang malang itu ke atas bukit.  Dengan batu-batu, pedang dan segala senjata, mereka menggiring binatang itu ke sebuah ketinggian dan mengepunynya sehingga ia terjebak dan melompat ke jurang. Tubuhnya hancur menghantam karang. Tamatlah riwayat binatang elok itu untuk selamanya dari muka bumi.
Jesus, para nabi, orang-orang suci dan para martir seperti cerita itu.  Kita semua juga bisa seperti cerita itu. Kalau kita merunut sejarah masa lalu, para pemimpin agama sering merasa cemburu dan terancam kewibawaannya . Mereka bertindak sebagai interpreter dari hukum Allah dan doktrin suci,  sehingga mereka menghukum apapun yang berbeda, sesuatu yang tak dapat mereka kontrol dan kendillikan. Mereka selalu mengekskomunikasi dan memusnahkan sesuatu yang mereka pandang sebagai heretikal dan tidak mainstream atau bagian dari arus utama.
Orang-orang Yahudi pada jaman itu tak dapat menerima Jesus, sebab dan Jesus memiliki cara pandang dan pola sikap yang berbeda dengan mereka. Sebab Jesus melihat esensi dan bukan kulit luar sebuah penampilan, sebab Jesus mengekspresikan pengampunan,  keadilan dan kesetaraan, pelayanan dan perdamaian. Jesus menyuarakan pemerdekaan dan pemuliaan martabat bagi perempuan dan laki-laki, kebahagiaan dan keagungan jati diri menjadi anak-anak Allah. Jesus disalib karena menawarkan sebuah cara hidup baru yang berbeda berlandaskan cinta kasih tidak sekedar berlandaskan dogma-dogma yang sering dilaksanakan dengan cara tanpa toleransi.
Lantas siapakah kita ? Apakah kita penduduk desa, atau kita adalah unicorn, sang korban ? Kita adalah keduanya. Sisi baik dan sisi buruk melekat dalam diri kemanusiaan kita.
Kita adalah penduduk desa yang memusnahkan unicornm ketika kadang-kadang,  kita dibelit prasangka terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita : berbeda dalam berbicara, dalam berpakaian, dalam tradisi dan budaya mereka. Kadang kita bersikap tanpa toleransi dan menghakimi orang-orang yang karena cara beragama dan menafsirkan Kehendak Allah berbeda dengan kita, tingkah laku mereka tidak sesuai dengan standar moral, doktrin dan dogma yang kita yakini. Kita lantas menghukum mereka, memusnahkan nilai-nilai luhur yang mereka tawarkan. Sejarah mencatat, bahwa sering terjadi betapa sekelompok orang, mungkin kita termasuk di dalamnya, merasa dirinya punya hak untuk menjadi seperti The holy inquisition, seolah kita telah bertindak benar dengan melakukan “kehendak Allah”, ketika kita membasmi mereka.
Hati kita tidak cukup ikhlas dan terbuka untuk menerima perbedaan dan nilai-nilai baru yang diperjuangkan para pemimpin adat suku asli, pejuang lingkungan, pejuang persamaan martabat perempuan, pejuang buruh, pejuang hak asasi manusia, pejuang martabat kaum homoseks, pejuang hak-hak orang cacat, dsb. Visi dan cita-cita mereka seringkali jauh melampuai zamannya, sehingga sulit dimengerti. Kita sering sinis dan apriori terhadap mereka. Mungkin ada baiknya mengingat Yesus, yang begitu inklusif, terbuka dan toleran, tidak saja dalam kata-kata. Tapi ia menerapkannya dalam perbuatan sehari-hari.
Sebaliknya kita adalah unicorn, ketika berani seperti Yesus melanggar aturan Sabbath dan aturan atau tradisi zamannya yang sering menindas harkat kemanusiaan. Ia menawarkan sebuah cara hidup alternatif yang memerdekakan. Kita adalah Unicorn itu, ketika karena berusaha mendukung perjuangan nilai-nilai luhur,  kita terisolir, bahkan menjalani hukuman sosial dari komunitas kita.
Pasti sangat mengerikan menjadi sang korban. Dalam tingkatan yang berbeda-beda, Kita juga mungkin pernah merasakan penderitaan seperti ini, ketika kita yakin bahwa kita sedang memperjuangkan sesuatu yang benar, dengan cara-cara yang benar, tetapi lingkungan tidak memahami bahkan menolak.
Injil mencatat bahwa Jesus Sang Putera Allah, Sang Manusia Agung, mengalami juga saat berat seperti itu. Ia takut dan gentar. Malam sebelum kematiannya di taman zaitun ia berkata, “hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. : “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!”
Menjadi sang korban, karena paradigma, tindakan dan cita-cita kita berbeda dengan yang mainstream memang menggelisahkan, tetapi kita tidak sendiri. Mari meretas jalan.
Epilog
Keindahan hanya terletak pada perbedaan. Aku juga terus mengasah keikhlasan akan perbedaan dan menjadikannya darah dalam nadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar